Mana yang Lebih Dulu, Ilmu atau Iman?
Jika ditanyakan mana yang seharusnya lebih dulu, ilmu atau amal? Maka jawabnya sudah tentu ilmu. Prof Dr Abd Fatah El Awaisi, anggota Royal Historical Society Inggris Raya saat berbicara di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, pada 1 Maret 2022, menyatakan ilmu itu penentu amal. Jika benar ilmunya maka akan benar pula amalnya.
Namun, jika pertanyaannya diganti, mana yang lebih dulu ilmu atau iman sebagaimana judul pada artikel ini? Kemungkinan ada di antara kita yang menjawab ilmulah yang lebih dulu. Sebab, logikanya, mana mungkin keyakinan akan tumbuh manakala kita belum mengenal betul apa yang hendak kita yakini.
Sebagai contoh, ketika kita katakan kepada seorang awam bahwa bumi ini bulat, apakah ia akan langsung mempercayainya? Atau sebaliknya, jika kita katakan kepadanya bahwa bumi ini datar, apakah ia akan percaya?
BACA JUGA: Petunjuk Jalan Pulang
Tentu dia butuh penjelasan mengapa kita berpendapat seperti itu. Kita perlu kemukakan argumentasi kita dengan rujukan-rujukan yang jelas dan logis. Bahkan tak jarang dia sendiri mencari rujukan pembanding agar lebih meyakinkan dirinya.
Intinya, butuh ilmu untuk meyakinkan orang lain. Nah, berarti, ilmu harus lebih dulu, baru iman akan tumbuh. Namun, apakah memang seperti itu?
Ternyata tidak! Iman bisa tumbuh meskipun ilmu masih sedikit, bahkan mungkin belum ada. Masih ingatkah kita akan kisah masuk Islamnya Sahabat Umar bin Khaththab? Sejarah mencatat bahwa Umar Ra memeluk Islam justru ketika hatinya tengah dilanda kebencian yang luar biasa kepada orang yang akan ia yakini.
Ketika itu, menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Ishaq, Umar Ra tengah berada dalam perjalan untuk menjumpai Rasulullah SAW dengan maksud mencaci makinya. Namun, di tengah perjalanan, ia dihadang oleh sesorang yang mengabarkan kalau saudara perempuan Umar dan suaminya telah memeluk Islam.
Umar Ra bertambah besar kemarahannya. Ia bergegas menuju rumah adik perempuannya. Di rumah itu, selain ada saudara perempuan Umar dan suaminya, ada pula Khabab. Ketika memasuki rumah saudara perempuannya, tanpa berkata apa pun Umar langsung melayangkan tinjunya kepada Khabab sampai darahnya mengalir.
Qadarallah, ketika masih berada di rumah itu, mata Umar mendapati beberapa pelepah kurma bertuliskan beberapa ayat surat Thaha [20]. Setelah membacanya, hati Umar seketika tergugah dan langsung masuk Islam. Begitu cepatnya hidayah itu turun.
BACA JUGA: Ayo Berjamaah, Jangan Sendirian
Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah bahwa iman tak harus diawali oleh proses mencari ilmu yang panjang dan mendalam. Jika Allah Ta'ala sudah berkehendak maka seketika seseorang bisa beriman.
Karena itu mintalah kepada Allah Ta'ala agar orang-orang yang kita sayangi segera diberi hidayah tanpa harus melewati proses yang panjang. Kita doakan mereka sekalipun logika kita menyatakan sangat kecil kemungkinan mereka akan beriman
Umar Ra pun dinilai oleh sejumlah orang ketika itu mustahil akan memeluk Islam. Ummu Abdullah, sebagaimana dikisahkan dalam Fadhail ash-Shahabah, suatu hari bercerita kepada suaminya tentang Umar yang berusaha melarangnya hijrah ke Habasyah. Lalu sang suami berkata, "Ia (Umar) tidak akan pernah masuk Islam sebelum keledai al-Khaththab masuk Islam terlebih dahulu."
Lalu mengapa Umar Ra seketika bisa berubah pikiran dan memeluk Islam. Tak ada jawaban yang lebih masuk akal selain karena doa yang dipanjatkan Rasulullah SAW untuk Umar Ra. "Ya Allah," pinta Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hajar, "Muliakanlah Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai dari kedua orang ini: Abu Jahal atau Umar bin Khaththab."
Ternyata Allah Ta'ala memilih Umar bin Khaththab. Wallahu a'lam.
Penulis: Mahladi Murni