Kisah Dai di Pulau Rupat
Saya sudah menduga, Pak Yunus tak akan ada di rumahnya. Dugaan saya ternyata benar. Warung Pak Yunus ternyata tutup. Pintu rumahnya juga terkunci.
Pak Yunus adalah mualaf yang tinggal di Desa Hutan Ayu, Pulau Rupat, pulau terluar di Provinsi Riau. Saya diantar oleh Ust Juliman, dai muda Hidayatullah, untuk bertemu Pak Yunus pada Sabtu (30/7).
Jika bertemu, saya ingin sekali mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau. Tapi qadarallah, ia tak ada di rumah.
"Kita balik lagi," kata Ust Juliman sambil memutar balik motornya.
Desa Hutan Ayu, tempat kediaman Pak Yunus, terletak di Kecamatan Rupat Utara yang belum banyak dihuni masyarakat. Pulau Rupat sendiri adalah bagian dari Kabupaten Bengkalis. Luasnya lebih kurang 1.500 km2.
BACA JUGA: "Wahai Dai, Inilah Perniagaan Kita Kepada Allah"
Untuk menuju desa ini, kami harus mengendarai motor selama hampir satu setengah jam dari Tanjung Medang, ibukota Kecamatan Rupat Utara. Jalan yang kami lalui tentu saja tak mulus. Banyak lumpur yang memaksa saya harus turun dari motor yang dikendarau Ust Juliman, plus dua kali menyeberang sungai menggunakan perahu ketinting.
Setiap pekan, Ust Juliman mengunjungi kediaman Pak Yunus. Di rumah itulah Ust Juliman membina sekitar 19 mualaf, termasuk Pak Yunus. Kebanyakan mereka adalah pekebun yang membuka hutan dan berladang di pulau itu.
Yang menarik, hampir semua mualaf ini berasal dari Suku Akit. Konon, suku inilah yang pertama kali mendiami Pulau Rupat. Mata mereka sedikit sipit, namun kulit mereka agak gelap. Mungkin karena terlalu sering terpapar matahari saat berladang.
Menurut Ust Juliman, bukan sekali ini saja ia tak bisa menjumpai warga binaannya. Terkadang, saat waktu pengajian tiba, yang hadir hanya beberapa orang saja. Namun, pengajian tetap bisa digelar.
BACA JUGA: Dakwah Itu Perlu Bertahap
Yang menjadi masalah adalah ketika yang berhalangan hadir Pak Yunus. Praktis pengajian "bubar". Tak ada lagi rumah warga binaan yang "cukup pantas" untuk dijadikan tempat mengaji kecuali rumah Pak Yunus.
"Mereka itu sibuk. Kalau siang, mereka berladang. Kalau malam mereka kecapekan," jelas Ust Juliman dengan suara datar. Keringat telah mengucur dari keningnya. Saya juga ikut menyeka keringat di kening saya seraya membayangkan kembali jalan berlumpur yang harus kami lalui.
Begitulah "nikmatnya" berdakwah di daerah pedalaman. Para dai tak sekadar diuji dengan medan yang sulit, namun juga dituntut memiliki stok sabar yang tak boleh habis.
Kelak, saat Hari Bebangkit tiba, mereka telah mengumpulkan berjuta jawaban atas pertanyaan, "Masa mudamu engkau habiskan untuk apa, wahai fulan?"
Dan, anak cucu mereka pun akan bangga mengisahkan ini semua kepada dunia. ***
Penulis: Mahladi Murni