Membentuk Pemimpin Ideal dari Karakter Dua Nabi
Ramadhan adalah bulan di mana al-Qur’an menjadi bahan bacaan utama umat Islam seluruh dunia sepanjang hari. Bahkan semua Muslim berusaha lebih banyak membaca dan meng-khatamkan al-Qur’an, bersebab besarnya keutamaan yang ada di dalamnya.
Demikian halnya selayaknya, disamping kuantitas interaksi dengan al-Qur’an yang demikian intens, semestinya juga diikuti dengan perbaikan kualitas bacaan (tahsin) serta peningkatan pemahaman terhadap isi dan kandungan al-Qur’an. Selain membaca tarjamah dan tafsir, hal yang bisa dilakukan adalah mentadabburi al-Qur’an itu sendiri.
Secara singkat tadabbur adalah mengerahkan upaya untuk melihat, memahami, merenungi, sesuatu, bahkan sampai pada sisi terjauhnya, dari yang tersirat maupun yang tersurat. Kalau kata tadabbur dikaitkan dengan al-Qur’an, maka kita kenal istilah tadabbur al-Qur’an.
BACA JUGA: Bayarkan Zakat Agar Terhindar dari Sifat Kikir
Dengan demikian, tadabbur al-Qur'an bermakna pemikiran yang komprehensif yang dapat mengantar kita kepada akhir dari petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan tujuan-tujuan akhir yang ingin dicapai dari membaca al-Qur'an.
Sebagaimana kita fahami, bahwa al-Qur’an, merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW sebagai way of life (petunjuk dan pandangan hidup) yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Ia tidak hanya menjadi petunjuk dan pedoman bagi umat Islam saja, akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya untuk satu daerah, wilayah, bangsa dan negara tertentu saja, akan tetapi bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Kendatipun demikian, al-Qur’an bukan kitab yang hanya berisi ilmu petahuan tertentu saja. Ia unerversal dan multi disiplin ilmu. Sehingga, di dalamnya juga terkandung banyak kaidah dan prinsip-prinsip menajemen kepemimpinan serta aspek kehidupan yang lain.
Model Generik
Setidaknya di dalam al-Qur’an terdapat 2 (dua) syarat kepemimpinan. Pertama, apa yang disebut hafizhun alim, sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Yusuf [12] ayat 55, "Dia (Yusuf) berkata, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan'."
Secara ringkas hafizhun berarti orang yang pandai menjaga. Yakni, seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur, dan akhlaknya mulia. Orang seperti ini patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya.
BACA JUGA: Rusak Amanah Hilanglah Iman
Sedangkan 'alim adalah orang yang memiliki kemampuan dan ilmu pengetahuan yang memadai yang dengannya mampu mengelola dan memimpin rakyatnya serta membawa mereka hidup lebih sejahtera.
Berkenaan dengan ayat ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Meminta menjadi pemimpin adalah sesuatu yang dicela Rasulullah, namun permintaan Yusuf AS ini tidak. Sebab, ia merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah: 564).
Kedua, qowiyun amin, artinya kuat dan bisa dipercaya. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur'an Surat al-Qashash [28] ayat 26, "Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, 'Wahai ayahku! Jadikanlah dia (Musa) sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya'."
Dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqa saat menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa Nabi Musa AS dianggap layak untuk diajak bekerja karena ia memiliki dua sifat baik, yaitu kuat dan amanah. Dua sifat ini jika terdapat pada seseorang maka ia akan menjadi orang yang paling layak untuk melakukan pekerjaan itu, baik sebagai buruh, wakil, pegawai, pengawas, atau lainnya.
Sifat amanah menjadi jaminan bahwa ia tidak akan berkhianat kepada orang yang mempercayainya untuk mengelola apa yang diserahkan kepadanya. Sedangkan sifat kuat adalah kemampuan menjalankan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya, termasuk memiliki pengalaman, semangat dalam bekerja, dan tubuh yang bugar. Dua sifat ini terdapat pada diri Nabi Musa.
Antara Nabi Musa dan Nabi Yusuf
Dengan demikian, untuk melahirkan kepemimpinan ideal selayaknya mensinergikan dua model kepemimpinan di atas. Mengapa? Sebab, surat Yusuf [12] ayat 55 di atas dinisbatkan kepada Nabi Yusuf AS di mana ia memiliki model sifat dan karakter yang hafizhun alim. Sedangkan surat al-Qashsash [28] ayat 26, dinisbatkan kepada Nabi Musa AS dengan sebutan qowiyyun amin.
BACA JUGA: Kedudukan Shalat Sangat Penting dalam Islam, Jangan Sepelekan
Kedua sifat itu tidak bisa didikotomikan dan hanya melekat kepada kedua Nabi tersebut. Kedua sifat itu harus diintegrasikan dan disinergikan sehingga model kepemimpin yang dihasilkan merupakan pemimpin yang mampu menjaga amanah, memiliki ilmu pengetahuan yang memadai, kuat secara fisik, kuat menjaga prinsip, kaidah, dan norma yang disepakati, serta mampu menjaga amanah dalam kepemimpinannya.
Mempertemukan dan mengintegrasikan dua model kepemimpinan ini, pada gilirannya akan mampu melahirkan kepemimpinan yang tangguh, transformatif, visioner, berkarakter, dan ideologis. Dengan demikian, model kepemimpinan seperti ini, tidak hanya mampu menyelesaikan dan mengatur umat Nabi Yusuf AS dan Nabi Musa AS, tetapi akan terus dibutuhkan pada masa kini hingga masa mendatang.
Tentu saja model kepemimpinan tersebut harus disesuaikan dengan tools manajemen kekinian, sehingga dapat diimplementasikan dalam skala dan level kepemimpinan apa pun. Inilah model kepemimpinan yang menjadi problem solver di tengah krisis multidimensional yang terjadi dewasa ini.
Selanjutnya model kepemimpinan seperti ini bisa dipakai sebagai pisau analisis terhadap pemimpin yang ada di sekitar kita, termasuk diri kita sendiri, dengan sebuah pertanyaan, "Sudahkah kita memiliki sifat, karakter, dan model kepemimpinan seperti ini?"
Wallahu a’lam
Penulis: Asih Subagyo | Senior Researcher Hidayatullah Institute