Baitul Maqdis Dibebaskan Tanpa Darah Tertumpah
Betapa senang Sofronius membaca isi surat perjanjian tersebut. Demikian juga penduduk Kota Yerussalem. Bagaimana tidak, pihak Muslim mengakui keberadaan mereka, memberikan jaminan keamanan atas harta, jiwa, dan kepercayaan mereka. Tak seorang pun boleh diganggu karena keyakinan agamanya, dan tak boleh dipaksa dalam keadaan apa pun.
Ini sangat berbeda ketika dulu mereka ditaklukkan oleh Heraklius, sang Kaisar Romawi. Ia memaksa penduduk Yerusalem meninggalkan keyakinan agamanya dan harus mengikuti ajaran negara yang resmi. Barangsiapa menolak, akan dipotong hidung dan telinganya, juga dirobohkan rumahnya. Bagi mereka, perjanjian yang dibuat Umar adalah perjanjian baru yang tak pernah ada sebelumnya.
Umar juga mengatakan kepada utusan Sofronius bahwa khalifah sendiri yang akan datang ke Baitul Maqdis guna menerima kunci dari tangan Sang Uskup Agung. Padahal sebelumnya, Umar tidak pernah keluar dari Madinah untuk menaklukkan suatu negeri. Ini menunjukkan betapa penting Baitul Maqdis bagi kaum Muslim.
Maka, pada tahun 636 M, Baitul Maqdis bisa dibebaskan dengan penuh kedamaian. Inilah peristiwa pertama kali dalam sejarah penaklukan kota Yerusalem atau Baitul Maqdis tanpa ada darah yang tertumpah. Inilah keagungan akhlak Islam bagi orang-orang yang berfikir.
Meskipun dalam perjanjian Elia yang ditulis Umar termaktub larangan kepada kaum Yahudi untuk tinggal di Baitul Maqdis, namun, menurut Karen Armstrong, mengutip buku A History of Palestine karangan Moshe Gil, larangan itu hanya sementara.
BACA JUGA: Umar Meminta Abu Ubaydah Agar Membebaskan Damaskus
Seiring berjalannya waktu, kaum Yahudi juga diizinkan untuk tinggal dan mendirikan tempat ibadah di Baitul Maqdis. Umar bahkan mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk menetap di Baitul Maqdis. Mereka diberikan distrik sekitar Poll of Siloam di Barat Daya Haram al-Syarif. Mereka bahkan diizinkan untuk mendirikan sinagog yang dikenal sebagai the Cave.
Ini jelas anugerah luar biasa bagi kaum Yahudi. Setelah 400 tahun lamanya mereka dilarang masuk Yerusalem, kini kaum Muslim justru memberikan jaminan keamanan kepada mereka. Tiga penganut agama samawi, Islam, Kristen, dan Yahudi, pada akhirnya bisa hidup rukun berdampingan di kota ini.
Yang menarik, saat pembebasan Baitul Maqdis itu, Khalifah Umar bin Khaththab menolak untuk shalat di Gereja Makam Kudus di area Baitul Maqdis. Tujuannya, agar kelak kaum Muslim tidak meminta konversi Gereja Makam Kudus menjadi sebuah masjid. Umar shalat di luar gereja tersebut.
Tempat di mana Umar shalat ini kemudian didirikan masjid yang pintunya berlawanan arah dengan pintu masuk gereja Makam Kudus. Ada yang menyebut masjid tersebut adalah Masjid Jami' al-Aqsha. Ada pula yang menyebut Masjid al-Qibli.
Umar juga menyempatkan diri pergi ke tempat di mana Nabi Sulaiman AS dahulu mendirikan Masjid al-Aqsha dengan diantar Uskup Agung Sofronius. Betapa terkejutnya Umar melihat tempat itu sudah menjadi areal pembuangan sampah dengan tumpukan yang menggunung. Umar marah dan menyuruh Uskup Agung membantu membersihkan tumpukan sampah dengan tangannya sendiri.
Setelah bersih, Umar melihat batu suci masih tertanam di tempatnya. Umar menjelaskan bahwa itulah batu yang digambarkan Rasulullah SAW sebagai tempat menjejakkan kaki saat mi'raj, atau naik ke langit ketujuh (sidratul muntaha). ***
Penulis: Mahladi Murni | www.mahladi.com