Wasathiyah Itu Pertengahan, Bukan Ekstrim
Wasathiyah menjadi salah satu karakter peradaban Islam. Ia memang bukan karakter utama, namun penting untuk kita pahami.
Peradaban Islam, sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, bukan sekadar wilayah sebagaimana Kota Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah. Peradaban Islam lebih kepada nilai-nilai Islam yang dibangun di dalam wilayah tersebut. Itulah yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya hingga terbangun peradaban Madinah.
Al-Wasathiyah, sebagai salah satu karakter peradaban Islam, memiliki banyak makna. Beberapa makna yang disebut para ulama antara lain: berkeseimbangan (at-tawazun), mengambil jalan tengah (at-tawassuth), adil (al-i’tidal), toleransi (at-tasamuh), setara (al-musawah), berkembang (at-tathawwur), maju dan inovatif (at-taqaddum wal ibtikar), bermusyawarah (as-syura), reformis (al-ishlah), berskala prioritas (al-aulawiyah), dan berkeadaban (at-tahaddhur).
Dengan demikian, manusia yang berperadaban Islam, bukanlah manusia yang ekstrim atau berlebih-lebihan. Sebaliknya, manusia yang berperadaban Islam bukan pula mereka yang gemar mengurangi atau mengubah ajaran Islam sebagaimana kaum liberal.
Manusia yang berperadaban Islam juga selalu seimbang (tawazun) dalam menjalani hidup sebagaimana tertulis dalam al-Qur'an surat Al Hadid [57] ayat 25 dengan sebutan mizan. Keseimbangan dalam hal ini adalah seimbang antara hak dan kewajiban, spiritual dan material, rohani dan jasmani, ilmu dan amal, kemaslahatan pribadi (fardiyah) dan kolektif (jama’iyah), dan lain-lain.
Seorang yang hidupnya seimbang haruslah berani namun tidak sewenang-wenang terhadap orang lain. Ia seorang pemurah namun tidak berfoya-foya atau mubazir. Ia bersikap tegas tetapi tetap sopan dan beretika, waspada tetapi tidak takut, bertawakkal namun tetap berikhtiar. Dan, yang terpenting, ia selalu menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat, namun tidak mengabaikan kebutuhannya di dunia.
Kemudian, masyarakat yang berperadaban Islam, senantiasa bersikap lurus dan adil (i'tidal), yakni menghindari segala bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, serta bersikap adil dan proporsional dalam menghadapi setiap masalah.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah [5]: 8)