Berita Tentang Anak dan Etika yang Dilanggar
Dari sisi jurnalistik, anak biasanya memiliki nilai berita yang tinggi. Sebagai contoh, para jurnalis lebih tertarik mendalami kisah seorang anak yang menjadi korban kecelakaan dibanding lima laki-laki dewasa yang juga mengalami kecelakaan yang sama.
Di sisi lain, masyarakat lebih menyukai kisah-kisah human interest yang ditulis dengan gaya feature ketimbang gaya straight news (lempeng). Ini disebabkan, kisah-kisah human interes lebih mengaduk-aduk perasaan ketimbang straight news. Apalagi bila ditulis oleh jurnalis senior yang piawai membuat feature.
Lantas bagaimana bila dua hal menarik di atas disatukan: peristiwa tentang anak diceritakan dengan gaya feature? Nah, tentu ini lebih menarik lagi.
BACA JUGA: Mujahid Digital Solusi Menghadapi Penjahat Digital
Hanya saja, bercerita tentang anak tak boleh _hantam kromo_, semua ditulis tanpa memperhatikan etika. Sebab, menurut Dr Latri M Margono, Wakil Ketua Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Anar) MUI, anak memiliki sejumlah hak yang harus kita lindungi.
Di antaranya, kata Latri dalam acara Pelatihan Dasar Jurnalistik bagi pengurus Ganas Anar MUI di aula lantai 4 Kantor Pusat MUI, Jakarta Pusat, Rabu, 16 Novem,ber 2022, hak untuk memiliki masa depan yang cerah.
Dalam kasus narkoba, misalnya. Anak yang menjadi pemakai barang-barang haram tersebut tak boleh disebutkan identitasnya. Sebab, usia mereka masih panjang dan masa depan mereka masih cerah. Boleh jadi, di perjalanan usia yang panjang tersebut, mereka sadar dan bertekad untuk menjadi baik.
Nah, jika identitas mereka sudah dicemarkan ke publik, maka hal tersebut akan menjadi catatan kelam yang sulit dihapus. Apalagi di era teknologi informasi yang kian canggih sekarang ini, jejak digital akan tetap ada.
Tentang hal ini, Dewan Pers sebenarnya telah mengaturnya dalam Kode Etik Jurnalistik. Tertulis dalam pasal 5 bahwa Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Dijelaskan pula dalam tafsiran ayat tersebut bahwa identitas yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacaknya. Selain itu, definisi anak yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
BACA JUGA: Virus Ganas dalam Berkomunikasi Adalah-Kesombongan
Selain itu, Dewan Pers juga telah mengeluarkan 12 butir peraturan tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak bernomor 1/Peraturan-DP/II/2019. Salah satu bunyinya: Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa, melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Lalu bagaimana menyikapi pelanggaran atas hal ini di media pers? Penulis, yang menjadi salah satu pemateri dalam pelatihan ini, mengungkapkan pentingnya peran serta masyarakat untuk ikut mengawal dan mengawasi pers. Jika terdapat fakta-fakta pelanggaran maka masyarakat bisa mengadu ke Dewan Pers.
Yang sulit justru mengawasi konten-konten yang beredar di media sosial. Sebab, selain tak punya kode etik profesi, jumlah pelanggaran etika di media sosial sangat banyak. Yang bisa dilakukan adalah mengimbangi konten-konten yang melanggar etika tersebut dengan konten-konten positif.
Hanya saja, untuk mengimbangi hal tersebut, tak bisa dilakukan secara alami. Kita butuh gerakan yang bisa mencerahkan masyarakat, utamanya anak-anak muda, agar tergerak hatinya untuk ikut berjuang mengisi ruang-ruang publik di media sosial dengan konten-konten positif. Gerakan masyarakat yang tertata rapi, meskipun tak besar, insya Allah akan mampu mengalahkan gelombang informasi negatif yang tak teratur. Wallahu a'lam.
Penulis: Mahladi Murni