Inilah Tantangan Dakwah di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur
Jumlah pemeluk Islam di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), Kalimantan Timur, tidak banyak. Menurut Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mahulu, Muhammad Arifin, hanya 22 persen dari total penduduk Mahulu yang mencapai sekitar 35 ribu jiwa.
Kebanyakan masyarakat Mahulu memeluk Katholik. Jumlahnya mencapai 60 persen. Jika ditambah dengan penganut Protestan, jumlahnya menjadi 76 persen. Sisanya memeluk agama lain seperti Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan.
Meskipun masyarakat Mahulu memeluk agama yang berbeda-beda, jelas Arifin lagi, namun mereka saling menghormati. Masjid-masjid di Mahulu tidak dilarang menggunakan pengeras suara saat azan. Begitu pula perayaan-perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, tak pernah dipermasalahkan oleh pemeluk agama lain.
Jumlah masjid di Mahulu ada 19, ditambah satu musholla. Namun, menurut Ketua MUI Kabupaten Mahakam Ulu, KH Muhammad Yasin, belum semua masjid di Mahulu ini bisa menyelenggarakan shalat berjamaah lima waktu. "Ini karena belum semua masjid memiliki imam," jelasnya.
Beberapa masjid memang sudah ramai diisi oleh jamaah dan aktif menyelenggarakan berbagai acara. Misalnya, di Masjid al-Yasin di Kampung Long Bagun Ulu, Kecamatan Long Bagun. Saat penulis menunaikan shalat magrib di sana pada Sabtu, 17 September 2023, hampir semua shaf shalat terisi penuh, terutama oleh anak-anak. Setelah shalat magrib, anak-anak belajar mengaji hingga shalat isya.
Menurut Yasin, setidaknya ada tiga masjid di Kabupaten Mahakam Ulu yang sudah mulai ramai dengan jamaah dan aktif menggelar berbagai kegiatan. Selain di Long Bacun Ulu, ada satu masjid di Ujoh Bilang dan satu di Datah Bilang.
Persoalan terbesar yang dihadapi masjid di Mahakum Ulu ini, kata Yasin, adalah mendapatkan ustadz yang mampu menjadi imam sekaligus membimbing masyarakat mengenal Islam secara baik. Beberapa ustad muda memang pernah datang ke Mahakam Ulu. Tapi, mereka tidak bertahan lama.
Yasin menyadari, tantangan terberat tinggal di Mahulu ini adalah harga-harga kebutuhan pokok yang sangat mahal. Harga sepiring nasi dengan lauk seadaanya saja sudah Rp 25 ribu. Bahkan semangkuk bakso pun juga dihargai Rp 25 ribu. Begitu pula harga gas melon yang kecil dihargai Rp 55 ribu. Belum lagi biaya transportasi. Perjalanan menggunakan perahu boat dari Kecamatan Tering, Kutai Barat, menuju Ujoh Bilang, Mahulu, harus mengeluarkan Rp 450 ribu per orang.
Ini semua membuat tidak betah orang dari luar Mahulu berdiam di wilayah hulu sungai Mahakam ini. Apalagi bila tujuan kedatangan mereka bukan untuk bisnis, seperti para dai. "Sedikit sekali yang bisa bertahan untuk tetap tinggal dan berdakwah di tempat ini," jelas Yasin.
Untuk mengatasi ini, para ulama di Mahulu bersepakat menyekolahkan anak-anak muda asli Mahulu ke pesantren-pesantren di Tanah Jawa. Setelah selesai, mereka diminta kembali ke kampungnya untuk menjadi imam masjid dan berdakwah di Mahulu.
"Sudah ada beberapa anak muda yang kami kirim. Biaya sekolah dibantu dari kas-kas masjid. Alhamdulillah, mereka saat ini sudah pulang ke kampungnya," cerita Yasin. Tentu saja, karena mereka penduduk asli, tak ada masalah buat mereka untuk tinggal dan menetap di Mahulu.
Namun, jumlah pemuda yang mau masuk pesantren seperti ini tidak banyak. Artinya, kata Yasin, persoalan jumlah dai masih menjadi tantangan cukup berat bagi masyarakat Mahulu saat ini.
Semoga permasalah ini bisa segera diatasi. ***
Penulis: Mahladi Murni | Pengelola blog pribadi www.mahladi.com