Akankah Sejarah Berulang Menimpa Kaum Yahudi?
Hasan Kleib, pemateri sentral dalam acara jumpa pers yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) tujuh tahun lalu, tepatnya pada Kamis, 3 Maret 2016 siang di Jakarta, datang terlambat. Laki-laki tegap dengan rambut tipis itu berjalan cepat menuju kursi tengah di barisan meja pemateri.
Begitu duduk, Hasan langsung dipersilahkan oleh sang moderator untuk memulai pemaparannya. Hampir seratus wartawan dari dalam dan luar negeri yang diundang oleh kantor Kemenkominfo siang itu telah lama menanti kehadiran Direktur Jenderal Multilateral Kementrian Luar Negeri RI tersebut. Termasuk saya.
Sedang sang tuan rumah, Ismail Cawidu, Kepala Humas Kemenkominfo, telah lebih dulu duduk di kursi di sebelah kanan Hasan. Namun, dia belum mendapat kesempatan berbicara. Ia sempat mengangkat tangan kepada saya sebelum acara dimulai. Kami berdua saling kenal setelah diundang mengisi acara di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu sebelumnya. Dialah yang mengundang saya ke acara ini.
Rencananya, tiga hari setelah jumpa pers tersebut, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bakal menggelar sebuah konferensi di Gedung Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, selama dua hari, yakni pada 6 dan 7 Maret 2016. Jumpa pers hari itu dilaksanakan sebagai bagian dari puncak persiapan penyelenggaraan konferensi tersebut.
"Konferensi ini bukan konferensi biasa. Ini konferensi luar biasa," kata Hasan memulai pemaparannya.
Hasan benar! Konferensi ini memang dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI. Ia disebut luar biasa karena diselenggarakan di luar jadwal rutin, yakni setiap tiga tahun sekali. KTT rutin baru akan dilaksanakan bulan berikutnya, yakni tanggal 15 dan 16 April 2016, di Istambul, Turki.
Yang juga menarik, KTT Luar Biasa ini sedianya akan digelar di Maroko. Namun, Maroko menyatakan tidak sanggup. Presiden Palestina dan Sekjen OKI meminta Indonesia menggantikan Maroko menjadi tuan rumah. Lampu hijau dinyalakan oleh pemerintah Indonesia. Jadilah negeri dengan jumlah kaum Muslim terbesar di dunia ini sebagai tuan rumah hajatan tersebut.
Ada 10 hingga 12 pemimpin setingkat kepala Negara yang menghadiri KTT ini, serta utusan dari Amerika Serikat, Rusia, PBB, dan Uni Eropa, serta 4 negara peninjau, yakni Bosnia Herzegovina, Afrika, Rusia, dan Thailand. Namun, yang paling istimewa dari konferensi ini adalah tema yang diusung --yang menjadi tema tunggal-- yakni solusi mengatasi persoalan yang melanda Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.
Ya, tema ini pula yang menarik perhatian saya untuk memenuhi undangan media briefing siang itu. Israel, satu seperempat abad silam, lewat David Ben Gurion, telah mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak. Berdirinya "negara" Israel ini menjadi babak baru persoalan yang melanda Palestina dan menyita perhatian masyarakat dunia, terutama kaum Muslim.
Saya sengaja menaruh tanda kutip pada kata "negara" karena pada dasarnya Israel berdiri di atas penindasan dan perampasa yang mereka lakukan atas bangsa dan negara Palestina. Coba perhatikan sebuah peta yang dirilis oleh National Geographic tahun 1947, atau setahun sebelum peristiwa Nakba. Peta itu memperlihatkan hanya ada Palestina di wilayah yang diapit oleh Trans-Jordan, Mesir, Siria, dan Laut Mediterania. Tidak ada Israel.
Jadi, bangsa Yahudi hanya datang bertamu. Namun, sang tamu kemudian mengusir tuan rumah, sekaligus mengklaim bahwa rumah yang mereka rampas tersebut miliknya.
Tidak semua wilayah Palestina berhasil mereka rampas, melainkan menyisakan dua bagian kecil, yakni Tepi Barat dan Gaza, yang terus bergejolak hingga kini. KTT Luar Biasa OKI, yang khusus membahas persoalan Palestina, hanyalah satu di antara banyak upaya untuk menghentikan upaya penindasan yang dilakukan Israel.
KTT tersebut membuahkan beberapa keputusan. Salah satunya, Deklarasi Jakarta (Jakarta Declaration) yang berisi rencana aksi konkret para pemimpin OKI untuk menyelesaikan persoalan Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.
Hasil lainnya adalah meningkatkan tekanan kepada Dewan Keamanan PBB untuk memberikan perlindungan internasional bagi warga Palestina, dan penetapan batas waktu pendudukan Israel atas negara di Bumi Syam tersebut.
Namun, Israel keras kepala, sebagaimana nenek moyang mereka dahulu. Mereka tetap saja menjajah Palestina dan menyerang kaum Muslim yang beribadah di Masjid al-Aqsha. Bahkan, di penghujung 2023 ini, mereka membombardir Gaza. Ribuan warga sipil Palestina, termasuk bayi dan anak-anak, meninggal.
Tak ada negara yang sanggup dan mau menghentikan aksi biadab ini, termasuk PBB. Di banyak negara, yang bergerak menentang justru penduduknya, bukan negaranya. Namun, gelombang ketidaksukaan kepada sikap sombong dan keras kepala bangsa Yahudi ini kian lama kian membesar. Mungkinkah sikap keras kepala kaum Yahudi ini kelak akan berbalik menimpa mereka sendiri sebagaimana sejarah pernah mencatatnya berulang kali?
Wallahu a'lam. ***