Menghidupkan Nilai Al-Qur'an di Segala Sektor Kehidupan
Al-Qur'an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Ia diturunkan dalam bulan Ramadhan (al-Baqarah [2]:185), mayoritas ulama menyatakan pada 17 Ramadhan.
Peristiwa turunnya al-Qur'an dikenal dengan Nuzulul Qur'an. Sebagai kitab suci yang berdimensi komprehensif, maka al-Qur'an menjadi penuntun bagi kehidupan manusia dalam segala sektor kehidupan. Hal ini secara sederhana bermakna al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam harus diamalkan dalam semua aspek kehidupan. Ini sangat wajar mengingat Al-Qur'an tidak hanya berbicara seputar hubungan antara hamba dan pencipta, tetapi juga berbicara hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Selain itu al-Qur'an juga berbicara tentang hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Artinya al-Qur'an memang telah dipersiapkan sebagai tuntunan bagi manusia agar tidak tersesat dalam mengarungi kehidupan yang dipenuhi dengan tipu daya setan.
Membaca al-Qur’an menjadi tugas sangat penting bagi seorang Muslim (al-Muzammil [73]: 20}. Tidak sekedar membaca dalam pelafalan, tapi lebih dari itu yaitu implementasi nilai-nilai yang dikandungnya. Ini dimulai secara bertahap dari yang paling sederhana seperti penghormatan sesama, hingga ketentuan hukum yang paling berat seperti qishas (hukuman fisik).
Secara ideal, nilai al-Qur'an wajib kita hidupkan dalam semua sektor kehidupan yang kita jalani. Hal ini guna memastikan bahwa setiap perbuatan kita mengacu pada nilai yang digariskan al-Qur'an. Dalam faktanya harapan ideal ini tidak selamanya terwujud. Tidak sedikit dari kita sesama muslim yang dalam menjalani kehidupan jauh, bahkan sangat jauh, dari tuntunan al-Qur'an.
Juga masih banyak dari kita yang lebih senang mengikuti perintah nafsu dalam menjalani kehidupan, akibatnya kehidupan kita tidak bermuara pada keselamatan, tetapi justru menjumpai kehampaan. Keengganan untuk menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman paling tidak dipicu oleh dua faktor. Pertama faktor ketidaktahuan, dan kedua faktor kemalasan.
Terkait ketidaktahuan yang menjadi faktor pertama, memang mesti diakui bahwa tidak semua orang yang lahir dan besar dalam lingkungan keluarga Muslim juga mendapatkan pendidikan Islam yang baik. Tidak sedikit dari mereka yang justru minim pengetahuan agama, termasuk minim pengetahuan tentang al-Qur'an.
Hal ini biasanya lahir dari cara pandang yang keliru dalam membesarkan anak. Tidak sedikit orang tua yang rela mengeluarkan uang banyak agar anaknya mendapatkan pendidikan umum yang baik, namun pada saat yang sama tidak melakukan ikhtiar serius agar anaknya mendapatkan pendidikan al-Qur'an yang cukup.
Akibatnya, anak tumbuh dengan pemahaman yang minim terhadap al-Qur'an. Kalau pemahamannya minim maka secara otomatis tidak mengerti apa dan bagaimana mengamalkan al-Qur'an dalam kehidupan.
Pada bagian ini penting untuk dilakukan perubahan mendasar dalam pola pikir orang tua yang mestinya menjadikan pendidikan al-Qur'an sebagai prioritas utama bagi anak agar kelak anak tumbuh di bawah bimbingan al-Qur'an.
Mengenai kemalasan yang menjadi faktor kedua, hal ini lebih disebabkan rendahnya komitmen seorang hamba untuk mengaplikasikan nilai al-Qur'an dalam semua sektor kehidupan. Mereka tahu tapi tidak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa bermaksud menghakimi, tidak ada salahnya bertanya kepada diri masing-masing, keuntungan apa yang didapatkan dengan tidak menerapkan nilai al-Qur'an dalam semua sektor kehidupan yang kita jalani? Bila kita berpikir mendapat keuntungan maka pasti saat itu kita sedang berada di bawah pengaruh hawa nafsu.
Pada dasarnya tidak ada sedikit pun keuntungan yang didapatkan dengan menghindari penerapan nilai al-Qur'an dalam segala aspek keseharian kita. Justru kita hanya mendapat kerugian karena jauh dari tuntunan al-Qur'an. Tidak ada keselamatan yang bisa dicapai dengan menjauhkan diri dan tuntunan al-Qur'an.
Sebagai Muslim, sepatutnya menjadi Muslim yang kaffah, yang meyakini bahwa semua aspek kehidupan harus berdasar dari nilai yang ditetapkan dalam al-Qur'an. Tidak mengambil sebagian lalu meninggalkan sebagian. Perkara ini mesti dianggap urgen bila ingin mencapai keselamatan dunia dan akhirat. ***
Penulis: Dr. Baeti Rohman, MA | Ketua Umum Ikatan Sarjana Al-Qur'an Indonesia