Hilang Hubungan Keluarga Karena Jalan Berbeda
Perbedaan jalan bisa dialami oleh siapa saja, termasuk oleh ayah dan anak. Sang ayah memilih jalan lurus, sedang sang anak memilih jalan bengkok.
Jika perbedaan jalan seperti ini dialami oleh orang kebanyakan, kita tak akan memandangnya luar biasa. Namun bila keadaan ini dialami oleh seorang Nabi, maka jelas itu luar biasa. Sebab, seorang Nabi adalah manusia pilihan Allah Ta'ala. Ia pastilah paham betul tentang pentingnya berdakwah, terlebih kepada keluarganya sendiri.
Namun, kehendak Allah Ta'ala tak ada yang bisa mencegahnya. Sampai akhir hayatnya, sang anak yang dikasihi tak bisa disadarkan. Ia mati dalam keadaan kufur. Inilah yang dialami oleh Nabi Nuh alaihissalam.
BACA JUGA: Haji Itu Mengajarkan Taat
Allah Ta'ala banyak memberi kisah tentang Nuh AS dan putranya di dalam al-Quran sebagai ibroh untuk umat setelahnya. Kisah ini bermula dari dakwah Nuh kepada kaumnya agar menyembah hanya kepada Allah Ta'ala.
“Wahai kaumku," kata Nuh AS kepada kaumnya sebagaimana dikutip dalam al-Quran surat al-Araf [7] ayat 59. "Sembahlaah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (kiamat)."
Dalam kesempatan yang lain, Nuh AS juga berpesan kepada kaumnya, "Sungguh aku ini pemberi peringatan yang nyata bagi kalian, agar kalian tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih," (Hud [11]: 25-26).
BACA JUGA: Jangan Hina Pendosa, Belum Tentu Kita Lebih Baik Darinya
Seruan demi seruan ini tetap tak menggugah hati kaumnya. Mereka tetap ingkar, bahkan menuduh Nuh AS pendusta. Mereka berkata, sebagaimana dikutip dalam al-Quran surat Hud [11] ayat 27, "Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami. Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti engkau melainkan orang-orang yang hina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat engkau memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap engkau adalah seorang pendusta."
Sebenarnya, selama sepuluh generasi setelah masa Adam AS, umat manusia masih berpegang teguh pada Islam (agama yang lurus). Rasulullah SAW menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan Abu Dzar, "Berapa jarak waktu antara Adam dan Nuh?" Rasulullah SAW, dalam Hadits yang diriwayatkan Ibnu Hiban, menjawab, "Sepuluh generasi. Mereka semua berpegang teguh kepada Islam (jalan keselamatan)."
Namun iblis tak tinggal diam. Iblis terus berbisik ke dalam jiwa keturunan Adam AS hingga tanpa disadari mereka mulai banyak yang menyimpang. Mereka mengultuskan orang-orang shaleh meskipun sudah lama meninggal. Mereka membuat patung oramg-orang shaleh tersebut lalu menyembahnya.
Demikianlah tipu daya setan. Rasulullah SAW dalam hadits yang ceritakan oleh Iyadh bin Hammar menyatakan bahwa Allah Ta'ala telah berfirman, "Sungguh Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus (bertauhid), lalu setan-setan menyimpangkan mereka dari agama, mengaharamkan kepada mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahlkan kepada mereka untuk menyekutukan-Ku yang tidak Aku turunkan penjelasan tentang itu," (Riwayat Muslim).
Lalu turunlah Nuh AS membawa risalah yang lurus, mengingatkan kembali kepada kaumnya akan kesesatan mereka. Namun, yang didapatkan Nuh AS dari kaumnya justru perlawanan. "Wahai Nuh," kata mereka sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat Asy Syuara [26] ayat 116, "Sungguh, jika engkau tidak (mau) berhenti, niscaya engkau termasuk orang-orang yang dirajam (dilempari batu sampai mati)."
BACA JUGA: Peringatan Bagi Pembenci Nabi Muhammad SAW
Nuh AS mengadukan perbuatan kaumnya ini kepada Rabb-nya. "Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah mendustakan aku. Maka berilah keputusan antara aku dan mereka, dan selamatkanlah aku dan mereka yang beriman bersamaku," (Asy Syuara [26] ayat 117-118).
Maka dimulailah peristiwa dramatis itu. Nuh AS diperintahkan oleh Allah Ta'ala untuk membuat kapal yang besar. Orang-orang yang beriman naik bersama Nuh AS di atas kapal itu. Namun, orang-orang yang ingkar, enggan mengikuti ajakan Nuh AS untuk naik bersama mereka.
Ketika air bah datang, permukaan air mulai meninggi, Nuh AS melihat anaknya sedang diombang-ambingkan gelombang besar di kejauhan. Naluri sang ayah tak akan tega melihat darah dagingnya sendiri kepayahan menyelamatkan diri dari bah.
Nuh AS berteriak kepada anaknya, "Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami, dan janganlah engkau bersama orang-oraang kafir," (Hud [11]: 42).
Sang anak tak mau memenuhi permintaan ayahnya. Ia menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah,” (Hud [11]: 43).
Nuh AS berteriak lagi, "Tidak ada yang dapat melindungimu dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang,” (Hud [11]: 43).
Sang anak tetap tidak mempedulikan teriakan ayahnya.
Lalu, atas perintah Allah Ta'ala, datanglah gelombang besar menenggelamkan sang anak yang ingkar ini.
Nuh AS tentu saja sedih. Hatinya tersayat-sayat. Ia tak mampu mendakwahi putranya sendiri.
Ketika bah telah surut dan kapal telah berlabuh kembali ke daratan, Nuh AS memohon kepada Allah Ta'ala. "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil," (Hud [11]:45)
Namun Allah Ta'ala menolak doa Nuh AS. Allah Ta'ala berfirman, "Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik. Sebab itu janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakekatnya). Aku menasehatimu agar engkau tidak termasuk orangyang bodoh," (Hud [11]:46).
Inilah pelajaran penting buat kita. Perbedaan jalan bisa melanda siapa saja. Seorang ayah dan seorang Nabi pun tak mampu mengajak putranya sendiri ke jalan yang lurus.
Dan, ketika jalan sudah tak sama, maka tak ada lagi hubungan keluarga.
Wallahu alam. ***
Penulis: Mahladi Murni