Lingkungan

Berlayar Menyisir Kepulauan Aru

Menuju Pelabuhan Dobo, Kepulauan Aru

ALFRED RUSSEL WALLACE pada sekitar tahun 1800-an melakukan ekspedisi menjelajahi gugusan pulau demi pulau yang membentang di perairan laut sebelah tenggara Benua Asia. Tak tanggung-tanggung, 8 tahun ia habiskan waktu untuk mengarungi pulau demi pulau di kawasan yang dikenal dengan nama Nusantara itu.

Yang menarik, di antara banyak pulau yang disinggahi naturalis asal Inggris tersebut, ada satu gugusan pulau yang membuatnya amat terpesona. Belum pernah ia menemukan pulau seindah itu. Ia begitu kagum dengan flora dan faunanya.

Gugusan pulau itu bernama Aru, terletak di sebelah tenggara Kota Ambon, Provinsi Maluku, berhadapan langsung dengan Laut Arafuru yang ganas di sebelah utara Benua Australia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut Wallace, Aru adalah tempat paling indah yang pernah ia temui. Dari keindahan inilah, Wallace terinspirasi untuk merumuskan teori tentang bagaimana kehidupan berevolusi di muka bumi.

Teorinya ada kemiripan dengan teori evolusi milik rekannya, Charles Darwin, yang kontroversial itu. Hanya saja, jika Darwin terinspirasi lewat keindahan di Kepulauan Galapagos, Amerika Selatan, maka Wallace terinspirasi dari Kepulauan Aru.

Wallace tiba di Kepulauan Aru pada tahun 1857, tepatnya di kota Dobo, kota pelabuhan yang kini menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Aru.

Saat itu Dobo sudah menjadi kota pelabuhan yang ramai. Maklum, ketika itu Dobo sudah terhubung dengan berbagai rute perdagangan maritim dunia. Banyak pedagang yang datang dan pergi ke Dobo untuk mengambil benda paling berharga di kepulauan itu, yakni mutiara.

Monumen mutiara di Dobo

Kepulauan Aru memang dikenal sebagai penghasil mutiara paling baik di dunia. Wajarlah bila gugusan pulau di Laut Arafuru ini disebut juga Nusa Mutiara.

Lalu bagaimana keadaan Aru saat ini? Masih adakah mutiara di sana? Pada pertengahan September 2021, saya bersama tim PosDai Hidayatullah, berkesempatan menyisir Kepulauan Aru.

Mulanya kami berangkat dari Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku, menuju Tual, menggunakan pesawat kecil. Lalu, setelah terbang selama 1 jam, kami meneruskan perjalanan menuju Kepulauan Aru menggunakan kapal sebagaimana dulu Wallace mendatangi kepulauan itu. Tual berada di tengah-tengah antara Ambon dan Kepulauan Aru.

Kami menghabiskan waktu lebih dari 12 jam di atas kapal menuju Pelabuhan Dobo. Di atas kapal, kami berjumpa dengan Ongki, seorang pemuda warga Dobo. Ia bercerita bahwa dulu penduduk di Kepulauan Aru biasa mencari mutiara dari alam. Mereka menyelam ke dasar laut.

Tapi sekarang, kata Ongki, mutiara dari alam sudah tidak ada lagi. Yang ada, mutiara hasil bidudaya.

Haris, pria setengah baya yang kami temui di Siwalima, Dobo, membenarkan perkataan Ongki. "Mutiara dari alam saat ini sudah jarang ditemukan," katanya.

Bahkan, Haris menduga, saat ini masyarakat sudah tidak tertarik lagi mencari mutiara alami. Mereka lebih suka budidaya. Selain jumlahnya lebih banyak, juga lebih mudah didapat. Di Kepulauan Aru, kata Haris, masih ada beberapa perusahaan budi daya kerang mutiara.

Kepulauan Aru adalah satu dari 9 kabupaten --ditambah 2 kota-- di Propinsi Maluku. Di kabupaten ini ada sekitar 187 pulau yang mendiami kawasan sekitar 185 kilometer dari utara ke selatan dan 90 kilometer dari timur ke barat. Luasnya kira-kira sama dengan dua kali luas Pulau Bali.

Dari total jumlah pulau tersebut, tidak semua berpenghuni. Hanya setengah saja yang dihuni masyarakat, tepatnya 79 pulau. Namun, jumlah itu tentu cukup banyak jika dibandingkan dengan Kepulauan Seribu yang terdapat di utara Jakarta. Di Kepulauan Seribu, hanya 11 pulau saja yang berpenghuni.

Jarak satu pulau dengan pulau yang lain di Kepulauan Aru sangat bervariasi. Ada yang dekat, ada yang sangat jauh. Perjalanan dari satu pulau ke pulau yang lain hanya bisa ditempuh dengan kapal-kapal kecil.

Bahkan, perjalanan dari satu sisi pulau ke sisi yang lain seringkali lebih efektif jika ditempuh dengan kapal atau perahu dibanding mobil atau motor. Sebab, tak semua pulau memiliki jalan yang layak dilalui. Kebanyakan justru hanya jalan setapak saja.

Ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru adalah Dobo. Letaknya di Pulau Warmar, pulau kecil dan terpisah dari pulau besar di sebelahnya, yakni Pulau Wokam. Secara keseluruhan, di Kabupaten Kepulauan Aru ada 10 kecamatan. Dari seluruh kecamatan tersebut, Dobo kota paling maju.

Salah satu sisi Kota Dobo

Dobo kota kecil yang ramai. Di sana banyak sekali kendaraan. Jalan-jalan sudah beraspal. Bangunan di sepanjang jalan sudah permanen. Sejumlah hotel --yang lebih mirip penginapan-- juga ada di Dobo. Sewa per malam berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu.

Pemukiman padat berada di daerah pantai. Rumah-rumah papan yang disanggah oleh banyak tiang berdiri rapat di sepanjang pesisir pantai. Antara satu rumah dengan rumah lainnya dihubungkan oleh jembatan papan yang sempit. Hanya muat dilewati oleh dua orang. Di bawah jembatan dan rumah-rumah bertiang tersebut terdapat genangan air laut bercampur pasir.

Perahu-perahu nelayan tertambat di pantai di dekat perumahan penduduk. Jumlahnya banyak sekali. Masyarakat Kepulauan Aru, termasuk Dobo, memang hidup dari hasil laut, terutama ikan, udang, lobster, teripang, dan rumput laut.

Jumlah penduduk Kota Dobo, menurut data tahun 2020, sebanyak 42.263 jiwa. Luas wilayah Dobo sekitar 24,56 kilo meter persegi dengan kepadatan penduduk hampir 2 ribu jiwa per kilo meter persegi. Jumlah ini memang cukup padat jika dibandingkan Kepulauan Aru secara keseluruhan. Namun, di wilayah pinggiran kota Dobo, masih sangat longgar, terlebih di wilayah yang jauh dari pantai.

Jumlah keseluruhan penduduk Kepulauan Aru, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2019, sekitar 105.742 jiwa. Kepadatan rata-rata hanya 16 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan kepadatan penduduk di DKI Jakarta pada tahun yang sama sebesar hampir 17 ribu jiwa per kilometer persegi. Sangat terpaut jauh.

Menurut Sukahar, seorang pengusaha ikan di Dobo, tahun 2016 kota ini masih sepi. "Saya masuk ke Dobo tahun 2016. Hanya ada 5 mobil pribadi di kota ini," jelas Sukahar dalam obrolan santai dengan kami di kediamannya di Dobo, Ahad, 26 September 2021.

Namun, perkembangan Dobo pada tahun-tahun berikutnya sangat pesat. Pendapatan daerah dari hasil perikanan saja, menurut pria asal Pati, Jawa Timur ini, semula hanya ratusan juta rupiah. Sekarang melonjak menjadi Rp 30 miliar.

Salah satu ikan paling mahal yang terdapat di perairan Aru adalah ikan gelembung. "Jika ada yang membawa 30 kilogram ikan gelembung ke sini, saya bisa bayar Rp 100 juta sambil tutup mata," kata Sukahar.

Kami meneruskan perjalanan ke Kampung Jerukin. Untuk menuju kampung ini jelas tidak bisa ditempuh lewat darat dari Dobo. Sebab, kampung ini terletak di Pulau Maikoor, sedang Dobo terletak di Pulau Wamar.

Jerukin artinya cemara. Entah mengapa kampung ini dinamakan demikian. Kami perlu berlayar selama kira-kira tiga setengah jam dengan perahu bermotor dari pelabuhan Dobo menuju kampung ini.

Kampung Jerukin

Rumah-rumah penduduk di Kampung Jerukin kebanyakan berdinding papan dan berlantai tinggi. Sebagian rumah beratap daun rumbia, sebagian lagi seng.

Jalan yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain hanya berupa setapak. Sebagian sudah disemen, sebagian lagi masih tanah bercampur pasir. Tak terlihat mobil atau motor di kampung ini. Sekolah hanya ada satu, yakni Sekolah Dasar Negeri Jerukin.

Hampir semua penduduk Jerukin berprofesi sebagai nelayan dan pencari kepiting bakau. Dalam satu malam, mereka bisa menemukan 5 ekor kepiting bakau yang besar. Beratnya bisa lebih dari 1 kg.

Sebenarnya, Jerukin bukanlah kampung terluar di Kabupaten Kepulauan Aru. Masih ada pulau lain yang berada lebih jauh lagi, yakni Pulau Jambu Air. Untuk mencapai pulau Jambu Air, kata La Ganti, salah seorang nelayan di Kampung Jerukin, butuh waktu sekitar 4 jam lagi dari Jerukin. Sedangkan jarak Pulau Jambu AIr menuju Australia perlu waktu sekitar 6 jam lagi.

Konon, cerita La Ganti, nelayan di Pulau Jambu AIr dan sekitarnya kerap mencari ikan di perairan Australia. Di antara mereka ada yang tertangkap polisi Australia. Tapi, lebih banyak yang berhasil kabur bila dikejar.

Sayangnya, kami tak sempat menyambangi Pulau Jambu Air. Waktu yang sangat terbatas mengharuskan kami segera kembali ke Dobo, lalu terbang ke Jakarta.

Meskipun kini Kepulauan Aru tidak seindah dulu ketika Wallace mengunjunginya, namun bila Anda mencari tempat refreshing yang kental suasana pesisir dengan panorama pantai yang indah, maka Aru adalah pilihannya. ***

Penulis: Mahladi Murni

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Jaga Iman dengan Berbagi Renungan