Masih Ada Rimpu di Bima dan Dompu

Sejarah  
Rimpu, pakaian adat Bima dan Dompu

Beberapa waktu lalu sempat merebak diskusi hangat soal jilbab dan budaya Nusantara. Ada yang berpendapat bahwa jilbab tidak identik dengan budaya Nusantara. Benarkah?

Menjelang akhir 2016, saya berkesempatan mengunjungi Kota Bima dan Dompu di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Saya tak sekadar mendengar cerita soal rimpu, pakaian adat daerah setempat yang mirip cadar, namun juga berjumpa dengan beberapa wanita yang masih mengenakannya.

Perjumpaan saya dengan wanita-wanita yang mengenakan rimpu ini atas saran Ahmad Yasin, warga Dompu yang keluarganya memiliki usaha menenun rimpu turun temurun dari dulu sampai sekarang. “Jika kita berjalan-jalan ke pasar atau tempat keramaian, kita masih bisa menemukan wanita yang mengenakan rimpu,” jelas Ahmad.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Benar saja! Ketika saya berjalan-jalan di Desa Sangga, kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, beberapa wanita terlihat mengenakan rimpu. Ada yang berjalan mengantar anaknya ke sekolah, ada pula yang menjemur padi di depan rumahnya.

Satu di antaranya bernama Hafsah. Wanita yang telah menginjak usia 70 tahun ini mengaku masih sering mengenakan rimpu. Hanya saja, rimpu yang sekadarng ia kenakan tidak mirip dengan rimpu wanita Bima dahulu.

Wanita mengenakan rimpu masih bisa dijumpai di Bima

Ali Hanafiah, pemerhati sejarah yang saya temui di Bima, juga menyatakan hal serupa. Menurutnya, di Desa Sambori, Kecamatan Wawo, Bima, masih sering dijumpai para wanita mengenakan rimpu. Demikian juga di Desa Kale'o, Kecamatan Lambu, tetangga Desa Sangga.

Bahkan, menurut Ahmad lagi, kebanyakan wanita di Bima dan Dompu masih menyimpan rimpu di rumahnya. Jika ada acara-acara khusus seperti hajatan atau pernikahan, pakaian adat tersebut baru dipakai. Biasanya rimpu dikombinasi dengan hijab modern atau kain songket.

"Rimpu sekarang mirip jilbab. Cuma bahannya yang khas, terbuat dari kain tenun berwarna warni," kata Hafsah. Ketika masih gadis, Hafsah mengaku sering mengenakan rimpu yang tertutup seluruhnya, kecuali sekitar mata.

Hal ini diakui oleh Zubaedah, pedagang mie rebus di Mada Pangga, Kabupaten Bima. "Saya punya rimpu di rumah. Saya pakai kalau ada acara nikahan atau perayaan hari besar Islam," katanya.

Menurut Dr Siti Maryam Salahuddin, pemerhati sejarah Bima dan putri ke-7 Sultan Bima, Muhammad Salahuddin, rimpu adalah pakaian adat Bima yang sudah diwariskan turun temurun sejak berabad-abad silam.

“Rimpu erat kaitannya dengan ajaran Islam, yakni kewajiban menutup aurat pada wanita,” kata wanita yang ketika saya temui di rumahnya di Bima saat itu berusia hampir 90 tahun.

Pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin tahun 1930, penguasa terakhir kesultanan Bima, jelas Siti, pemakaian rimpu lebih diperketat. Para wanita harus mengenakan rimpu jika hendak keluar rumah. “Sultan sangat kuat menjaga syariat Islam,” kata doktor lulusan Universitas Pajajaran, Bandung ini lagi.

Hal senada diungkap Ali Hanafiah, pemerhati sejarah Bima. Menurutnya, rimpu adalah pakaian khas suku Mbojo, suku asli Kabupaten Dompu dan Bima. Pakaian ini, kata Ali, memiliki dua jenis.

Pertama, rimpu mpida. Rimpu jenis ini bentuknya mirip cadar, biasa dipakai para gadis yang belum berkeluarga. Kedua, rimpu colo. Rimpu ini biasa dipakai wanita yang sudah menikah. Bentuknya mirip jilbab yang dikenakan muslimah saat ini.

Kekhasan rimpu, kata pria kelahiran 1946 ini lagi, terletak pada jenis dan corak kainnya. Penutup kepala pada wanita ini terbuat dari kain tenun (tembe) nggoli, khas Mbojo. Motifnya kotak-kotak dengan paduan dua warna atau lebih.

Selain itu, cara melipat atau menggulungnya juga berbeda dengan jilbab. Rimpu digulung pada bagian atas melingkari kepala. Gulungan ini bisa menyisikan mata dan alis saja, bisa juga wajah. Sedang kebanyakan jilbab cukup disorong ke kepala, tak perlu digulung-gulung.

Menurut Hilir Ismail dalam bukunya Menggali Pustaka Terpendam (Butir-butir Mutiara Budaya Mbojo), Kesultanan Bima memang telah menerapkan Islam sejak berabad-abad silam. Adat istiadat mereka tidak ada yang bertentangan dengan norma Islam.

Rimpu sendiri merupakan budaya turun temurun yang diwasiatkan oleh nenek moyang Dou Mbojo (bangsa Bima) sejak tahun 1640, sebelum meletusnya Gunung Tambora.

Dijelaskan pula dalam buku tersebut bahwa Islam masuk ke tanah Bima melalui pelabuhan Sape, sebelah timur Bima, pada tahun 1617. Agama ini dibawa oleh para pedagang dari Demak dan Gowa.

Tahun 2015, parade rimpu sempat digelar di Doro Ncanga, Kecamatan Pekat, Dompu. Tak kurang 13 ribu wanita berjalan kaki di jalan-jalan utama. Semua mengenakan rimpu. Tak tanggung-tanggung, perayaan ini dihadiri juga oleh Presiden RI, Joko Widodo.

Kebanyakan masyarakat Mbojo juga menyimpan rimpu di rumahnya.

Perayaan ini sebetulnya ditujukan untuk memperingati meletusnya Gunung Tambora dua ratus tahun yang lalu. Konon, letusan Gunung Tambora ini telah mengubur mimpi Napoleon Bonaparte untuk menaklukkan Inggris, Belanda, dan Jerman. Padahal, pasukan Napoleon ketika itu jauh lebih banyak dibanding lawannya.

Rupanya, letusan Gunung Tambora tak mampu mengubur budaya rimpu masyarakat Bima dan Dompu yang telah berkembang sebelum itu. Budaya Islami ini tetap hidup sampai sekarang.

Jadi, jika Anda masih meragukan bahwa jilbab tidak identik dengan budaya Nusantara, sepertinya Anda perlu piknik ke Bima dan Dompu, lalu mengobrollah dengan orang-orang tua di sana. Anda akan mendengar cerita tentang rimpu, bahkan bisa jadi bertemu dengan mereka yang masih mengenakannya sampai sekarang. ***

Penulis: Mahladi Murni

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Jaga Iman dengan Berbagi Renungan

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image